This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Monday 7 November 2016

Smartphone Pengendali Era Digital?


 My Name is Smartphone

“Muka masa kini, HP masa gitu,” kata seorang nenek pada pemuda. Ceritanya, nenek ini hendak meminjam HP untuk menghubungi cucu. Deskripsi iklan tersebut menampilkan seorang nenek yang hendak meminjam HP. Nenek ini terkejut saat pemuda menyodorkan HP konvensional (hanya untuk telepon dan SMS). Nenek tak terima, seharusnya anak muda masa kini bukan memakai HP biasa. Menurut saya, iklan smartphone ini tengah memberi penegasan, jika masyarakat Indonesia sudah mulai meninggalkan HP konvensional. Beragam usia, tua atau muda. Dari berbagai jenjang pendidikan, mulai sekolah dasar sampai kuliahan. Dan dari berbagai latar belakang ekonomi, sudah menggunakan smartphone alias ponsel pintar. Bukti #IndonesiaMakinDigital. Nenek ini belum muncul empat tahun silam, atau saat saya belum mengenal smartphone. Seandainya sudah muncul, saya termasuk anak muda yang muka masa kini, HP masa gitu. (hehehe). 
Semenjak saya mengenal smartphone hidup rasa digital begitu kuat. Urusan pekerjaan, urusan usaha, sampai urusan rumah tangga menjadi kian gampang. Kalau orang membutuhkan smartphone hanya sebagai kebutuhan sekunder dalam pekerjaan, saya bukan termasuk di dalamnya. Kebutuhan pada ponsel pintar bukan lagi wajib tapi sangat wajib. Karena saya bekerja di media massa. Alur pendistribusian berita jadi mudah. Antar rekan kerja satu kantor ataupun beda kantor memiliki grup BlackBerry (BB) ataupun WhatsApp (WA) khusus. Isu dan peristiwa terbaru bisa cepat direspon. Termasuk kemudahan untuk mengirim berita. Okelah, saya mulai cerita perkenalan pada smartphone. Keputusan rapat di kantor mengharuskan seluruh wartawan menggunakan smartphone. Pertengahan tahun 2012 mulai menggunakan BlackBerry (BB) Curve. Di tahun itu memang ponsel pintar belum dikuasai gadget berlayar lebar. Pilihan paket BB adalah Telkomsel As Paket BB Unlimited bulanan Xtra 100 MB.  
Memakai BB memudahkan kinerja awak redaksi media massa, khususnya wartawan. Saya tak lagi butuh modem dan laptop. Sering berita yang saya tulis mengandalkan BB. Setelah wawancara, jemari bisa langsung bermain di keypad BB. Betapa sederhananya. Paling menyenangkan tentu saat berada di daerah terpencil. Dukungan sinyal Telkomsel yang kuat membuat ponsel pintar bekerja dimanapun. Kehadiran ponsel pintar sekaligus membuat isu dan Informasi di lapangan kian lancar. Era smartphone membuat redaksi media happy. Rapat-rapat dadakan kerap dilakukan melalui BB. Penugasan mendadak cepat dibahas di grup smartphone. Nyaris 24 jam, gadget berdenting. Tanda ada Informasi baru yang muncul. Peristiwa besar yang ada di Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok dengan gesit diangkut media cetak tempat saya bekerja. Masa-masa yang saya nikmati betul. Lelahnya bermain digital dengan komputer atau laptop terganti. Tiga tahun BB Curve menemani keseharian saya. Selain menjadi laptop mini dan modem, BB pun menjadi perangkat digital penghubung. Foto maupun video bisa dengan modal dikirim. Baru di 2014 saya resmi beralih ke smartphone berbasis android. Gawai keluaran Korea Selatan jadi pilihan. Dan masih sama, ponsel berbasis android ini tetap didukung oleh akses digital dari Kartu As. Beda dengan memakai BB, menggunakan gawai android paket internet super murah dari Kartu As jadi pilihan. Cukup ketik *363*55#. Data paket 4 Gigabyte (GB) bisa dipakai. Smartphone beroperasi dengan lancar. Sebulan saya biasa mengisi paket internet super murah ini dua kali. Kadang bisa juga lebih, tergantung pada penggunaan data. Selain itu, ponsel juga membantu dalam urusan usaha (secara khusus saya bahas dibawah). 
(Aktivitas jurnalis tak pernah jauh dari gadget-dok/pri)

Kelebihan digital adalah penyebarannya cepat. Urusan dagangan ringan seperti pakaian pernah saya coba dan berjalan lancar. Tak usah pusing dengan gedung dan modal promosi. Lebih sederhana. Dalam rumah tangga sendiri, adanya smartphone membantu hal-hal yang kurang dimengerti. Seperti cara mengecat yang baik. Saya belajar mencampur cat tembok dan cat kayu dari tutorial di google dan youtube. Termasuk menghidupkan mesin pompa yang ngadat, itu juga dari youtube. Hal lainnya tentu saja keberadaan M-Banking di smartphone. Pulsa listrik habis dini hari, paket data habis mendadak, dan transaksi bank mendadak bukan lagi masalah. Saat ini pun urusan bayar membayar PDAM dan cicilan rumah cukup pencet tombol gadget. Kemudahan dalam genggaman tangan. Kebutuhan manusia sekarang akan semartphone yang begitu tinggi, membuat saya penasaran. Seberapa banyak sebenarnya pengguna ponsel pintar ini di Indonesia. 
Saya pun mencoba membuka informasi terbaru soal pengguna smartphone Indonesia. Laju pertumbuhan mejemuk tahunan (CAGR) ponsel pintar mencapai 33 persen dari 2013-2017. Pertumbuhan pesat didorong oleh pengguna muda dibawah usia 30 tahun. Nyaris 61 persen pemakai ponsel pintar ini usia 18-24 tahun. Data dari eMarketer dari 2015 pemakai smartphone Indonesia 52 juta, tumbuh pada 2016 menjadi 69 juta, dan 2017 menjadi 87 juta. Lompatan yang cukup pesat. Smartphone dan dunia digital, bagai raga dan roh. Satu kesatuan yang mengikat. Persebaran smartphone ini bukti #IndonesiaMakinDigital. Rilis dari salah satu smart data bekerja sama dengan Nielsen Mobile Insight, melansir temuan menarik. Pengguna smartphone 20 persen memakai data dalam jumlah besar. Sehari sekitar 249 megabyte (MB) kategori rakus data. Mereka banyak menginstal aplikasi dan game di smartphone. Selain itu, 19 persen pengguna smartphone kategori penggemar game. Sehari memakai lebih dari 1,5 jam. Bagaimana dengan pengguna perempuan? Sekitar 14 persen perempuan menghabiskan hampir satu jam setiap hari di jejaring sosial. Mereka masuk kategori bintang sosial. Dari penelitian itu pula dilansir pengguna smartphone menghabiskan 129 menit tiap hari. Dengan rerata pemakaian data 197 MB tiap hari. Ketergantungan manusia pada gadget cukup tinggi. Rasanya bila smartphone bisa bicara, layak sombong dengan kata “My Name is Smartphone”.

Diawal Berkawan dengan Modem

Saat ponsel pintar belum membanjir seperti saat ini. Dunia digital jauh panggang dari api. Penggunaan handphone (HP) konvensional tak 100 persen menolong mereka yang bekerja dengan kecepatan. Seperti kisah pada tahun 2010, saya masih menggunakan HP konvensional. HP yang hanya untuk telepon dan berkirim pesan singkat. Lazimnya wartawan, pagi hingga siang liputan. Sore hari baru mengetik berita. Sebagai jurnalis baru, “amunisi” belum lengkap. Maka, pilihannya datang ke warung internet (warnet) untuk mengetik berita. Setelah berita rampung, berikutnya mengirim ke email kantor. Hampir satu tahun warnet menjadi persinggahan tetap tiap hari. Perubahan mulai terjadi memasuki tahun kedua. Alhamdulillah, di tahun kedua sudah bisa beli laptop. Urusan ketik berita tak lagi repot. Perangkat ini mempercepat tugas. Tapi, bukan berarti urusan menjadi beres. Fasilitas internet belum memadai. Pasang jaringan internet atau beli modem, uang masing cekak. Sabar, hidup memang seperti itu butuh proses. Kecuali saya berteman dengan Doraemon.(hehehe).  
Tak jadi soal setiap hari wara-wiri ke internet. Kalau tidak, langsung saja ke kantor. Digitalisasi saya rasakan dari dalam rumah ketika mulai membeli modem, beberapa bulan kemudian. Di penghujung 2011 itu, modem sudah ditangan. Telkomsel memberi paket modem plus internet. Pilihan internet menggunakan Telkomsel Flash. Kenapa memilih Telkomsel? Pertama, tentu karena Telkomsel menghadirkan kecepatan paket data. Dan memang sepanjang menjadi pengguna modem tersebut tak pernah ada gangguan. Kedua, soal jaringan yang luas. Banyak titik di Pulau Lombok belum terjangkau sinyal. Pilihan yang akhirnya sampai sekarang saya syukuri. Karena memang bukan sekadar slogan semata. Selama memakai modem, sebulan hanya butuh Rp 50 ribu berinternet ria. Inilah digital mandiri yang pertama saya alami. Tak banyak waktu terbuang di jalan. Manfaat modem ini terasa ketika pindah tugas di luar kota. Daerah itu adalah Lombok Timur. Jangan bayangkan daerah itu seperti Kota Mataram yang saya tinggali sebelumnya. Kabupaten Lombok Timur  paling luas di Provinsi NTB. Perjalanan kecamatan ujung selatan ke utara bisa sampai dua jam. Pun demikian lama perjalanan ujung timur ke ujung barat. Sungguh melelahkan. Parahnya mencari internet di desa cukup sulit. Seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Modem Telkomsel Flash begitu berarti. Selama beberapa bulan di daerah baru, urusan berita berjalan lancar. Sayangnya, belum semua wilayah di Lombok Timur kala itu bisa dijangkau oleh modem. Pengalaman itu terjadi saat peliputan di wilayah selatan Lombok Timur, tepatnya di Desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru. Sinyal modem tak berfungsi. Luar biasa panik berinternet ria di daerah ini. Terpaksa saya harus menempuh satu jam perjalanan demi mencari sinyal. Caranya laptop dan modem tetap menyala. Beruntung saat itu ada rekan yang mendampingi. Ia pun rela membonceng saya memburu sinyal. Bukan sekali itu saja, saat banjir bandang di Sambelia sinyal modem menjadi penghalang. Banjir bandang cukup parah. Jembatan penghubung menuju Sekolah Polisi Belanting sampai putus. Untuk menginformasikan berita tersebut, saya butuh perjalanan hampir satu jam mendapat segaris sinyal. Malahan bila memakai provider yang lain bisa tidak bisa mendapat sinnyal. Di 2012 belum semua daerah di Lombok Timur ramah modem. Beberapa lokasi utamanya kawasan pinggiran susah akses internet.

Jemari Mungil Lihai dengan Smartphone

Penikmat dunia digital sekarang tak lagi melulu remaja dan orang dewasa. Anak kecil pun sekarang sudah menjadi penikmat digital. Dari kecil mereka sudah kenal dengan ponsel pintar. Dalam acara pernikahan akhir Oktober 2016 di pinggir Kota Mataram, tepatnya di Desa Lingsar Lombok Barat, hujan mengguyur cukup deras. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, saya pun tiba di lokasi. Karena datang pernikahan, jelas yang dicari dahulu adalah kedua mempelai pernikahan. Beragam sajian makanan terhidang. Sebagai tamu saya pun dipersilahkan. Setelah kehujanan, rupanya perut tak bisa diajak kompromi. Tanpa banyak bicara saya segera mengambil makanan. Ruang tamu rumah menjadi pilihan untuk menikmati makanan. Lapar sudah tidak mau diajak toleransi. Baru satu suap nasi masuk di mulut saya, mata memandang lima anak kecil. Semuanya asyik bercengkrama dengan gadget. Ponsel pintar beragam merk digenggaman jemari mungil. Lapar yang tadi menyerang, seolah hilang. 
Anak kecil main smartphone, bukan hal yang aneh. Rasa-rasanya di kota, bukan sejak kecil lagi. Dari bayi telah dikenalkan gadget. Banyak orang tua yang melihat anaknya menangis, menyodorkan gadget. Sim salabim anak pun menghentikan tangisnya. Dengan gaya anak-anak, saya pun mengajak berbincang. Bocah itu nyatanya hanya ikut-ikutan.
(Yadi asyik dengan gadgetnya-dok/pri)
Komandannya adalah bocah bersarung, yang tak lain adik rekan saya yang menikah. Namanya Yadi. Usianya baru masuk lima tahun. Baru naik TK besar. Yadi inilah yang jago mengoperasikan tablet tersebut. Jemari mungilnya lihai memilih kolom-kolom di laman youtube.  “Wah, ini sih luar biasa,” ucap saya dalam hati. Bocah Yadi masih lima tahun. Belum bisa membaca. Tinggal di kampung. Tapi, Yadi hafal betul kemana jarinya harus memilih kanal di youtube. Film-film anak semacam Upin-Ipin dan Boboiboy diputar. Lancar tanpa gangguan. Iseng saya bertanya saat tablet itu tak sanggup memutar film lagi.“Kok berhenti filmnya. Lanjutin dong,” kata saya. “Iya, lama masih loading,” jawab Yadi polos. Gubrak. Istilah dunia digital pun telah dipahami oleh Yadi. Bahasa download dan paket data habis, meluncur dengan modal. Meski matanya tak pernah berhenti memandang tablet itu, setiap pertanyaan saya tetap dijawab. Intinya anak kecil ini sudah jago bermain tablet. Inilah zaman #IndonesiaMakinDigital. Saya melanjutkan makan dengan senyuman. Kisah ini seperti pengalaman saya setahun silam. Saat putra rekan kerja saya, begitu lihai mengoperasikan komputer di kantor. Bocah laki-laki bernama Arka ini telah biasa menonton Ultraman, Upin-Ipin, atau Satria Baja Hitam via youtube. Sama seperti kisah Yadi, saat itu Arka juga masih TK. Bagi saya yang baru bersentuhan dengan dunia digital saat kuliah, tentu merasa luar biasa melihat anak kecil melek teknologi. Beberapa kali saya mendengar dari ibunya, kalau Arka di rumah pun tak bisa jauh dari smarphone. Sehari akses paket data menghabiskan ratusan ribu. Sangat boros. Berapapun diisi paket data, Arka tak akan berhenti sebelum paket itu habis. Bila dilarang, Arka akan protes. Ibunya kerap dibuat repot kalau paket data habis. Hem, cukup berat kalau anak kecil keranjingan online. 

Smartphone untuk Modal Jualan

Belanja kekinian bukan lagi harus keluar ke toko, supermarket atau mal. Belanja kekinian soda beralih dalam dekapan smartphone. Istilah yang ngetrend disebut belanja online. Awalnya saya bukan termasuk penggemar belanja online. Salah satu alasan kurang tertarik dengan belanja online adalah soal kualitas barang. Ada pengalaman buruk Dengan belanja di dunia maya. Uang sudah transfer, barang tak dikirim. Apes, rugi ratusan ribu. Selepas itu bertahun-tahun saya anti yang namanya jual-beli online. Nyatanya kemajuan dunia digital tak bisa dibendung. Kalau beberapa tahun lalu hanya ada beberapa startup jual-beli online, sekarang jumlahnya sangat banyak sekali. Tawaran produknya juga beragam. Sejak 2015 silam pandangan soal belanja online yang negatif mulai luntur.  Perubahan itu tak datang tiba-tiba. Berawal dari pesan online undangan dan souvenir pernikahan. Kualitas produk dan harga sepadan. Malahan melebihi ekspektasi yang diharapkan. Itu karena banyaknya apresiasi Dengan model undangan pernikahan yang dipesan istri saya. Sepakat dengan kata banyak orang, urusan belanja memang wanita jagonya. Entah itu belanja di pusat perbelanjaan ataupun belanja melalui online.Smartphone dengan dukungan Telkomsel, aktif menemaninya. Istri saya puluhan kali belanja online. 
Kualitas produk bagus, harga pun bersaing. Perbandingan ini pernah saya buktikan langsung. Dalam tugas luar daerah beberapa bulan lalu, tepatnya di Bandung, saya belanja di pusat perbelanjaan besar di Kota Kembang. Bandung dikenal sebagai kota fashion. Harga produknya juga kompetitif. Pilihan jatuh pada sweater dan baju lengan panjang perempuan. Pulang ke daerah, oleh-oleh diterima istri dengan senyuman.  Aneh, benar-benar aneh. Ketika istri membuka situs online belanja langganannya, harga busana yang sama labia murah. Dan bebas biaya pengiriman.
“Sudah capek keliling di Bandung, beli oleh-oleh kok malah lebih murah di online,” kata saya pada istri. Respon istri sih datar saja. Sebagai penggemar belanja online, sepertinya dia memang sudah mengabaikan cara belanja konvensional. Beragam keperluannya seperti baju, celana, make up, sampai sepatu dibeli lewat online. Semuanya dipakai untuk aktivitas sehari-hari. Soal kepercayaan yang tinggi pada situs jual-beli online ini pernah saya tanyakan.
“Beli online itu gak ceroboh juga. Harus melihat situs belanjanya, memilih produk dari beragam toko, perbandingan harga, dan baca klasifikasi produk yang dijual” terang istri saya.
(Situs belanja langganan istri saya-dok/pri)

Masih menurut dia, situs belanja online sekarang berlomba menawarkan kelebihan mereka. Biasa situs baru berani menggratiskan pengiriman ke semua daerah di Indonesia.  Meski begitu sebagai konsumen harus jeli. Ketika melihat ada produk sejenis berharga miring, tak langsung gelap mata. Harus dipastikan mengecek kualitas bahan. Berikutnya membandingkan Dengan toko online yang lain. Dalam situs online itu berisi puluhan sampai ratusan pelapak online.“Mau dapat bagus ya harus sabar,” sambungnya.
Bagi ibu rumah tangga, belanja online telah menjadi kebiasaan. Cukup modal smartphone dan paket data, produk apapun bisa dipesan. Biaya belanja langsung transfer begitu konsumen cocok. Biasanya istri saya transfer via M-Bangking di gadget. Kita pernah ngobrol santai penuh canda soal bisnis online ini. Mencari produk remeh-temeh yang kemungkinan tak akan ada di online shop. Beberapa coklat murah dan jajanan anak coba kita cari. Terkejut melihat deretan makanan tersebut. Produk yang tak lagi beredar di toko pun masih bisa didapat via online. Jajanan seribuan bisa dibeli dengan modal. Jangan pikir produk itu tanpa pembeli. Dari percakapan di bawah produk, ada saja yang menawar dan memberi testimoni. Bukan hanya belanja, ibu rumah tangga pun mulai aktif membuka lapak online. Beberapa istri rekan kerja serius menggeluti bisnis online. Hasilnya lumayan. Malah sanggup menopang ekonomi keluarga. Modalnya hanya smartphone. Cukup foto produk, upload, dan beri keterangan. Kalaupun tidak tergabung di lapak online, bisa dipajang di sosial media seperti facebook atau twitter. #IndonesiaMakinDigital.

Kecamatan Itu Sudah Ada Sinyal

Sebagai konsumen setia Telkomsel aksebilitas data begitu penting. Seiring peningkatan jumlah pelanggan, Telkomsel serius untuk memperbaiki cakupan. Bila dalam cerita sebelumnya diatas, saya mengalami kesulitan sinyal ketika menggunakan modem saat berada di Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, kejadian tersebut tak lagi terjadi. Saya mengalaminya 10 Oktober 2016. Salah satu tugas wartawan adalah mengawal misi kemanusiaan. Misi saat itu mengantar distribusi air minum di Desa Seriwe, Kecamatan Jerowaru. Sempat pesimis bakal kesulitan komunikasi ketika tiba di wilayah bagian selatan Pulau Lombok. Sayangnya, saya salah.
(Pembagian air bersih di daerah minim sinyal-dok/pri)

Saya yang sudah beralih sebagai pengguna Tablet dibuat tersenyum. Ditengah warga yang berebut air bersih, sinyal paket data masih jalan. Meski tak sekencang ketika berada di tengah kecamatan setempat. “Lha ini lebih untung. 2012 lalu di tengah kecamatan jangankan sinyal internet, sinyal HP saja tak ada,” batin saya. Membuktikannya saya mengecek HP yang kebetulan memakai provider berbeda. Tanpa sinyal. Membuktikan kalau kecamatan ini memang sudah ada sinyal, sepanjang jalan saya tetap mengecek gadget. Penyaluran air dari dusun ke dusun terekam dengan baik. Bahkan, foto dari lokasi langsung beredar di dunia maya. Dan lagi-lagi ini bukti #IndonesiaMakinDigital. Pinggiran sudah ramah sinyal. Saya penasaran, apa yang membuat kecamatan kesulitan akses digital sekarang menjadi mudah. Dugaan saya sudah ada penambahan base transceiver station (BTS). Dari cek dan ricek informasi, rupanya di 2016, tepatnya saat Ramadan milik Telkomsel ditambah. Tak tanggung-tanggung sampai 900 BTS  atau menara telekomunikasi.(Telkomsel tambah 900 BTS 2016)

Berdigital Ria Saat Waktunya 

Gadgetholic begitu istilah mereka yang kecanduan smartphone. Tingkah laku manusia di era sekarang pun berubah dengan adanya ponsel pintar. Tiada waktu tanpa memandang layar gadget. Saya termasuk dalam kelompok yang tak bisa jauh dari gadget. Tentu ada alasannya kenapa paket internet super murah dari Kartu As jadi pilihan. Tak jarang paket data 4 GB hanya bertahan beberapa hari. Selain untuk urusan kerja, bersosial media, paket data ini kerap menjadi modem. Salah satu kelebihan smartphone bisa digunakan untuk tetring. Biasa untuk ngeblog, smartphone beralih fungsi menjadi Wifi-Hotspot. Kecanduan gawai harus dihilangkan. Lima bulan terakhir saya terbilang hemat dalam memakai paket data. Caranya, saat jam berkumpul dengan keluarga saya akan mengabaikan gadget. Bergadget ria bisa dilakukan kapan saja. Namun momen kebersamaan bersama keluarga paling utama. Biasa sore hari ketika kerja, gawai mulai aktif. Langkah ini tentu butuh komitmen. Sekali sudah memandang gadget, berjam-jam mata tak akan lepas dari smartphone.
Hal lain yang patut diperhatikan soal era digital ini adalah soal  penggunaan gadget sebelum waktunya. Sejumlah orang tua membiarkan anak-anaknya di usia balita menggunakan gadget. Saya termasuk orang yang kurang suka anak kecil bermain gadget. Masa indah bermain bersama teman seumuran dan bersosial bakal terenggut. Saya mengutip pendapat dari www. RiauOnline.com, Psikolog Pendidikan dan Anak Elizabeth T. Santosa menjabarkan, menggunakan gadget tanpa batasan bisa menyebabkan adiksi atau ketergantungan pada anak. Ada dua faktor yang dapat menyebabkan anak berlama-lama memakai gadget. Pertama, orangtua juga sibuk dengan gadgetnya sendiri. Sehingga abai dengan aktivitas sang anak. Kedua, orangtua itu kurang memahami bahaya paparan layar elektronik pada sang anak. menjabarkan anak adiksi gadget. Negeri ini boleh kian digital. Jangan biarkan hidup kita ikut dikendalikan smartphone.
Bagi mereka yang tertarik berusaha, tak ada salahnya memanfaatkan kecanggihan teknologi. Jangan hanya ponsel saja yang pintar, pemiliknya juga harus pintar. Perkembangan dunia digital dunia kian pesat. Potensi pengguna internet di Indonesia cukup besar. Menempati urutan nomor enam dunia. (Pengguna internet Indonesia 2016). Wow, peluang besar untuk membuka lapak online. Saya sendiri sudah menyiapkan diri berpartisipasi dalam lapak online. 


Dengan beragam pengalaman saya diatas, pantaskan bila Smartphone dikatakan sebagai pengendali era digital?Hemmm....(*)















Monday 17 October 2016

Kemilau Mutiara Indonesia di Empat Benua





(Indonesian South Sea Pearl sudah  menjadi perhiasan/febri-dokumen pribadi)



INDONESIA sebagai penghasil Indonesian South Sea Pearl (ISSP) atau mutiara laut selatan terbesar dunia. Data Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (Ditjen PDSPKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebaran produksi tiram Pinctada Maxima dari Sumatera Barat, Lampung, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, dan Papua Barat.
Salah satu lokasi produksi Pinctada Maxima di NTB adalah di Lombok Utara, tepatnya di Teluk Nara, Kecamatan Pemenang. Dari Ibukota NTB (Kota Mataram) butuh waktu sekitar 45 menit untuk kesana. Potensi Indonesian South Sea Pearl dikembangkan oleh Autore Pearl Farm & Showroom. Disini bisa melihat mutiara dari hulu sampai hilir. Tak banyak di Indonesia lokasi budi daya mutiara jenis Pinctada Maxima yang dibuka untuk umum. 

(Lokasi budi daya tiram di Teluk Nara, Lombok Utara/febri-dokumen pribadi)

Penjelasan mengenai Indonesian South Sea Pearl saya dapat secara runut dari Asisten Manajer Autore Pearl Farm & Showroom M Khalil Gibran. Pria yang akrab disapa Gibo ini menceritakan, menghasilkan mutiara yang bagus prosesnya cukup panjang. Butuh empat tahun untuk sebutir mutiara. Pada moment “6th Indonesian Pearl Festival 2016” acungan jempol patut diberikan pada produksi  Indonesian South Sea Pearl dari Teluk Nara. Ekspor Autore Pearl Farm & Showroom telah menembus empat benua, Eropa, Amerika, Asia, dan Australia. Kemilau mutiara di Eropa menyebar mulai London, Milan, Spanyol, hingga Monaco. Sementara di Amerika, diminati pasar New York. Sementara untuk Asia dari Dubai dan Arab Saudi salah satu pasar potensial. Termasuk pelelangan di Hongkong. 
Budi daya Indonesian South Sea Pearl di Lombok Utara, dari penuturan Gibo diuntungkan oleh akses. Tak seperti daerah lain di Indonesia seperti di Sulawesi, Bali, dan Papua. Permintaan pasar luar negeri, tak bisa dipenuhi semua oleh Autore Pearl Farm & Showroom. Permintaan ekspor ditambah produksi negara lain. Diantara faktor yang membuat produksi mutiara belum memenuhi seluruh permintaan ekspor karena iklim. Seringnya hujan, ditambah gelombang laut, serta cuaca tak stabil membuat Pinctada Maxima sulit berkembang. Budi daya Indonesian South Sea Pearl itu tak seperti membuat roti. Setelah mengeluarkan modal, membeli bahan baku, kemudian roti langsung jadi dan tinggal menjualnya. Budi daya Indonesian South Sea Pearl  butuh modal besar. Modal yang dikeluarkan tak bisa langsung balik. Panen mutiara setiap tahun pun tak selalu bagus dan bisa dijual. Butuh beberapa tahun menutup modal yang sudah dikeluarkan.
Pasar memberi kepercayaan pada mutiara dari Teluk Nara selain kualitas, pecinta mutiara bisa melihat langsung prosesnya. Ada pecinta mutiara yang jauh-jauh datang dari Eropa, Amerika, Timur Tengah, serta beberapa negara Asia Tenggara untuk melihat budi daya tiram dan panen mutiara. 


(Turis mencanegara sedang melihat mutiara di showroom/febri-dokumen pribadi)

Mutiara yang dihasilkan, warnanya tak selalu sama. Ada yang berwarna emas, putih, sedikit kekuningan, dan silver. Setiap Pinctada Maxima memiliki warna dalam cangkang berbeda. Mutiara yang telah dipanen tak langsung dijual. Masih ada pengecekan oleh ahli mutiara. Bukan sembarang ahli, ahli mutiara ini bersertifikat khusus. Hal-hal yang dicek dari mutiara adalah kilau (shine), kemulusan permukaan (surface), bias warna (shade), bentuk (shape), ukuran (size). Untuk bentuk sendiri, ada yang tak beraturan (baroque). Setelah itu akan ada tingkatan (grade) mutiara. Dasar inilah kemudian harga Indonesian South Sea Pearl ditetapkan. Untuk mutiara sempurna, dengan kilau, kemulusan permukaan, bias warna, bentuk, dan ukuran yang baik sebutir bisa jutaan. Ukuran 10 milimeter lebih bisa Rp 6 juta. Meski begitu, ada juga sebutir  Indonesian South Sea Pearl  bentuk baroque dijual Autore Pearl Farm & Showroom Rp 30 juta lebih dengan berat antara 1,5-2 gram. Dengan harga yang cukup tinggi, wajar nilai perdagangan Indonesian South Sea Pearl dari tahun ke tahun terus meningkat. Data Ditjen PDSPKP melansir perdagangan 2013 mencapai 26,3 juta US Dollar, meningkat di 2014 menjadi 28,9 juta US Dollar, dan tahun 2015 mencapai 31,2 juta US Dollar. Ekspor mutiara NTB berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Disperindag NTB mulai Januari hingga Agustus 2016 terbesar ke Malaysia dengan nilai ekspor sebesar  47.192 US Dollar. Selain itu, Hong Kong menjadi negara ekspor mutiara terbesar kedua yang berasal dari NTB dengan nilai 40.000 US Dollar. Mutiara NTB juga masuk hingga ke Kuwait dan China tetapi pangsanya tidak sebesar Malaysia dan Hong Kong. Masing-masing nilai ekspor mutiara ke Kuwait dan China sebesar 1.765 US Dollar dan 2.038 US Dollar.



(Mutiara laut selatan hasil produksi Lombok Utara-NTB/febri-dokumen pribadi)


Sulitnya Budi Daya Pinctada Maxima



Di dunia ada empat jenis mutiara yang dikenal. Mutiara laut selatan yang dihasilkan oleh tiram Pinctanda Maxima. Produksinya dari Indonesia, Australia, Filipina, dan Myanmar. Setiap tahun produksinya tembus 12 ton. Ada juga mutiara hitam dari tiram Pinctada Margaritifera. Budi daya dilakukan di Tahiti, jumlah produksi setiap tahun antara 8-10 ton. Kemudian mutiara Akoya dari China dan Jepang dengan produksi 15-20 ton. Terakhir mutiara air tawar China dengan produksi 1.500 ton setiap tahun. Indonesian South Sea Pearl memiliki kualitas premium dengan harga tinggi pasaran. Meski begitu tak gampang untuk mendapatkan sebutir mutiara.  Prosesnya panjang. Dari penuturan Asisten Manajer Autore Pearl Farm & Showroom M Khalil Gibran empat tahun untuk mendapatkan mutiara. Semuanya berawal dari budi daya tiram Pinctanda Maxima. Mengawinkan indukan jantan dan betina untuk mendapat “bayi kerang”. Tempat budi daya memiliki laboratorium khusus. Setiap hari, dua kali diberi makan plankton. Khusus plankton, tak sembarangan. Makanan bayi kerang ini bibitnya dari perairan Tasmania, Australia. Pembesaran bayi kerang berjalan dua tahun. Setelah dua tahun, tak semua bisa ditanami nukleus. Persentasenya dari jutaan bayi kerang, hanya 25 persen yang bisa ditanami nukleus. Di usia dua tahun tiram Pinctanda Maxima ditanami nukleus. Kemudian ditenggelamkan di perairan Teluk Nara dengan kedalaman 7-10 meter. 

(Tiram Pinctada Maxima yang siap ditanami nukleus/febri-dokumen pribadi)

Penenggelaman tiram Pinctanda Maxima tak sembarangan. Ada jaring pelindung kerang. Bukan asal dilepas saja ke laut. Selama dua tahun, harus rajin dipantau. Asupan makanan bergantung pada alam. Kehidupan bawah air tak selalu mulus. Iklim kadang tak menentu. Ditambah lagi gelombang air laut. Kalau iklim dan laut tak mendukung, mutiara yang dipanen kurang maksimal. Ketika panen mutiara, dari 25 persen kerang dewasa yang ditanami nukleus sekitar 20-25 persen bisa memberi mutiara. Sementara untuk tiram Pinctanda Maxima dengan kualitas mutiara yang bagus, bisa menghasilkan mutiara beberapa kali. Setelah panen, tiram tinggal ditanam nukleus. Menunggu dua tahun bisa panen kembali.

(Pusat penjualan mutiara di Sekarbela, Kota Mataram/febri-dokumen pribadi)
Perluas Promosi Indonesian South Sea Pear


Mereka yang datang ke Lombok selalu menjadikan mutiara sebagai pilihan oleh-oleh. Mutiara Lombok dianggap sebagai mutiara berkelas. Sentra pengerajin mutiara di Lombok tersebar di banyak tempat, salah satunya di Kecamatan Sekarbela. Di kawasan ini penjual mutiara menjual mutiara dengan harga bervariasi. Dari mulai yang rendah, sampai harga yang tinggi. Tapi, tak semua konsumen paham tentang Indonesian South Sea Pearl. Semua mutiara  dianggap sama. Malah tak sedikit yang berpikir, yang penting mutiara. Hal ini semakin diperparah lagi dengan gempuran Chinese Fresh Water Pearl atau mutiara air tawar asal China. Mutiara berharga murah dengan kisaran antara 15 ribu sampai 200 ribu tiap gram. Berbeda dengan Indonesian South Sea Pearl yang harga tiap gramnya bisa antara 2,5 juta hingga 10 juta. Pariwisata di Lombok kian berkembang. Diikuti meningkatkannya kunjungan wisatawan. Masyarakat yang ingin memanfaatkan peluang pariwisata memandang berjualan mutiara sebagai potensi. Jika datang ke Lombok pedagang mutiara tak hanya dijumpai di toko-toko. Sekarang mulai muncul pedagang mutiara keliling. Pedagang menjual mutiara dari satu hotel ke hotel lain, atau dari satu rumah makan ke rumah makan yang lain. Jelas mutiara yang dijual bukan Indonesian South Sea Pearl. Tiap butir mereka hanya menjual di kisaran Rp 300-500 ribu. Itu adalah mutiara air tawar asal China. Harga murah dengan kualitas rendah. Saat ditanya jenis mutiara tersebut, jawaban pedagang hanya menjawab mutiara Lombok.
Melalui ajang 6th Indonesian Pearl Festival 2016, kesempatan bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggaungkan ke masyarakat luas mengenai Indonesian South Sea Pearl. Sasaran utama adalah daerah atau provinsi di Indonesia yang menjadi basis budidaya Indonesian South Sea Pearl. Hal ini salah satu cara menekan peredaran mutiara air tawar yang semakin mendominasi. Pecinta mutiara bisa saja dengan mudah membedakan antara Indonesian South Sea Pearl dengan Chinese Fresh Water Pearl. Sayangnya, tidak semua yang membeli mutiara tahu mutiara yang asli dari lautan Indonesia. Indonesian South Sea Pearl tetap mutiara terbaik dunia.(*)